Cerpen Kancil Dan Siput

Cerpen Kancil Dan Siput

Cerpen berjudul Kado Istimewa

Bu Kustiyah bertekad bulat menghadiri resepsi pernikahan putra Pak Hargi. Tidak bisa tidak. Apapun hambatannya. Berapapun biayanya. Ini sudah menjadi niatnya sejak lama. Bahwa suatu saat nanti, kalau Pak Gi mantu ataupun ngunduh mantu, ia akan datang untuk mengucapkan selamat. Menyatakan kegembiraan. Menunjukan bahwa ia tetap menghormati Pak Gi, biarpun zaman sudah berubah.

Bu Kus sering bercerita kepada para tetangganya bahwa pak Hargi adalah atasannya yang sangat ia hormati. Ia juga mengatakan bahwa Pak Gi adalah seorang pejuang sejati. Termasuk diantara yang berjuang mendirikan negeri ini. Walaupun Bu Kus Cuma bekerja di dapur umum, tetapi ia merasa bahagia dan berbangga bisa ikut berjuang bersama Pak Gi.

Akan tetapi, begitulah menurut Bu Kus setelah ibu kota kembali ke Jakarta, keadaan banyak berubah. Pak Hargi ditugaskan di pusat dan Bu Kus hanya sesekali saja mendengar kabar tentang beliau. Waktu terus berlalu tanpa ada komunikasi. Kekacauan menjelang dan sesudah Gestapu serasa makin merenggangkan jarak Kalasan-Jakarta.

Lalu, tumbangnya rezim orde lama dan bangkitnya orde baru mengukuhkan peran Pak Gi di lingkungan pemerintahan pusat. Dan ini berarti makin tertutupnya komunikasi langsung antara Bu Kus dengan Pak Gi. Sebab dalam istilah Bu Kus “kesamaan cita-cita merupakan pengikat hubungan yang tak terputuskan”.

“Soal cita-cita ini dulu kami sering mengobrolkannya bersama para gerilyawan lain,” demikian kenang Bu Kus. “Dan pada kesempatan seperti itu, pada saat orang-orang lain memimpikan betapa indahnya kalau kemenangan berhasil dicapai, Pak Gi sering menekankan bahwa yang tak kalah penting dari perjuangan menentang kembalinya Belanda adalah berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan”.

Tapi bagaimanapun, meski Bu Kus tetap merasa dekat dengan Pak Gi, ternyata setelah tiga puluh tahun lebih tak berjumpa, timbul jugalah kerinduan untuk bernostalgia dan bertatap muka secara langsung dengan beliau. Itulah sebabnya, ketika ia mendengar kabar bahwa Pak Gi akan menikahkan anaknya, Bu Kus merasa inilah kesempatan yang sangat tepat untuk berjumpa.

Lewat tengah hari, selesai makan siang, Bu Kus sudah tak betah lagi tinggal di rumah. Tas kulit yang berisi pakaian yang siap sejak kemarin diambilnya. Juga sebuah tas plastik besar berisi segala macam oleh-oleh untuk para cucu di Jakarta. Setelah merasa beres dengan tetek bengek ini, Bu Kus pun menyuruh pembantu perempuannya memanggilkan dokar untuk membawanya ke stasiun kereta.

Belum ada pukul tiga, Bu Kus sudah duduk di atas peron stasiun. Padahal kereta ekonomi jurusan Jakarta baru berangkat pukul enam sore nanti. Ketergesa-gesaannya meninggalkan rumah akhirnya malah membuatnya bertambah gelisah. Rasanya ingin secepatnya ia sampai di Jakarta dan bersalam-salaman dengan Pak Gi.

Berbincang-bincang tentang masa lalu tentang kenangan-kenangan manis di dapur umum. Tentang nasi yang terpaksa dihidangkan setengah matang, tentang kurir Natimin yang pintar menyamar, tentang Nyai Kemuning penghuni tangsi pengisi mimpi-mimpi para bujangan. Ah, begitu banyaknya cerita-cerita lucu yang rasanya takan terlupakan walaupun terlibas oleh berputarnya roda zaman.

Peluit kereta api mengagetkan Bu Kus. Ia langsung berdiri dan tergopoh-gopoh naik ke atas gerbong.

“Nanti saja, Bu! Baru mau dilangsir!” ujar seorang petugas.

Tapi, Bu Kus sudah terlanjur berdiri di bordes. “pokoknya saya bisa sampai Jakarta!” kata Bu Kus dengan ketus.

“Nomor tempat duduknya belum diatur, Bu!” ujar petugas itu.

“Pokoknya saya punya karcis!” jawab Bu Kus.

Dan memang setelah melalui kegelisahan yang teramat panjang, akhirnya Bu Kus sampai juga di Jakarta. Wawuk, anak perempuannya, kaget setengah mati melihat pagi-pagi melihat ibunya muncul di muka rumahnya setelah turun dari taksi sendirian.

“Ibu ini nekat! Kenapa tidak kasih kabar dulu? Tanya Wawuk.

“Di telegram, kan, saya bilang mau datang,” jawab Bu Kus.

“Tapi, tanggal pastinya ibu tidak menyebut,” Wawuk berkata dengan lembut.

“Yang penting saya sudah sampai sini!,” ujar Bu Kus.

“Bukan begitu, Bu. Kalau kita tahu persis, kan, bisa jemput ibu di stasiun”.

“Saya tidak mau merepotkan. Lagi pula saya sudah keburu takut bakal ketinggalan resepsi mantunya Pak Gi. Salahmu juga, tanggal persisnya tidak kamu sebut disurat.”

“Ya, Tuhan! Ibu mau datang ke resepsi itu??”

“Kamu sendiri yang bercerita Pak Gi mau mantu.”

“Kenapa ibu tidak mengatakannya di surat?”

“Apa-apa, kok, mesti laporan.”

“Bukan begitu, Bu.” Wawuk sendiri ragu melanjutkan ucapannya. “ibu kan… tidak di undang?”

“Lho, kalo tidak pakai undangan, apa, ya, lalu ditolak?”

“Ya, tidak, tapi siapa tahu nanti ada pembagian tempat, mana yang VIP mana yang biasa.”

“Ah, kayak nonton wayang orang saja, pakai VIP-VIP-an segala.”

“Tapi yang jelas, saya sendiri juga tidak tahu resepsinya itu persisnya diadakan di mana, hari apa, jam berapa. Saya tahu rencana perkawinan itu cuma dengar omongan kiri kanan.”

“Suamimu itu, kan, sekantor dengan Pak Gi. Masa tidak diundang?”

“Bukan satu kantor, Bu. Satu departemen. Lagi pula, Mas Totok itu karyawan biasa, jauh di bawah Pak Gi. Itu pun bukan bawahan langsung. Jadi, ya, enggak bakal tahu-menahu soal beginian. Apalagi kecipratan undangan.”

Wawuk menghembuskan napasnya agak keras.

“Ingat, Wuk.” Bu Kus bicara dengan nada dalam. “aku jauh-jauh datang ke Jakarta ini yang penting adalah datang pada resepsi pernikahan putra pak Hargi. Lain tidak.”

Baca Juga: Kumpulan Contoh Teks Pidato beserta Struktur, Tujuan & Jenisnya | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Kucing yang Selalu Lapar

Kucing yang Selalu Lapar

“Mengapa kucing mencuri?” tanya Kiki dalam hati. Gadis kecil itu merenung di tepi jendela sambil mendengarkan keributan yang sedang terjadi di sebelah rumahnya.

Kiki sudah dapat menduga siapa yang menjadi sumber keributan itu. Pasti kucing itu! Benar saja! Seekor kucing kecil dengan tangkas meloncat ke pagar tembok yang memisahkan rumah Kiki dengan rumah Tante Sali. Mata kucing itu dengan liar memperhatikan sekitarnya. Ekornya berkali-kali dikibaskan ke udara.

“Hai….” sapa Kiki. “Mencuri lagi, ya!” Kucing itu hanya menggeram. Matanya nanar waspada. Tiba-tiba saja ia melompat turun. Lalu menghilang.

“Kucing sialan!” Tante Sali muncul dari balik pagar. Napasnya memburu.

Sebelah tangannya membawa sapu, sebelah lagi berkacak pinggang. “Sialan kucing itu!”

“Mencuri apa dia, Tante?” tanya Kiki.

“Oh….” Tante yang gemuk itu menoleh. Senyumnya mengembang melihat Kiki. “Tidak, tidak mencuri apa-apa! Tidak berhasil dia! Tapi tiap hari diintip-intip, kan, menyebalkan, Ki!”

“Oh…. Tidak berhasil!” Kiki meniru. “Kenapa kucing mencuri, Tante?”

“Tentu saja karena ia lapar!” jawab Tante Sali.

“Kasih saja kucing itu makan, Tante, biar tidak mencuri lagi!” usul Kiki dengan polosnya.

“Enak saja!” Tante Sali merengut. la jadi nampak lucu sekali. Dagunya yang gemuk berlipat-lipat. “Memangnya kucing siapa dia?!”

Kucing siapa? Kiki tertegun. Dalam benak gadis kecil itu tak terbayang pemilik kucing yang selalu membuat ulah itu. Kalau tidak berhasil mencuri di tempat Tante Sali, pasti ia beroperasi di rumah sebelah lagi.

“Punya siapa, Tante?” tanya Kiki cepat-cepat sebelum Tante Sali berlalu.

“Tidak tahu. Kucing liar mungkin,” jawab Tante Sali sambil membalikkan badan.

Namun, kemudian dia berbalik lagi. Lalu menjulurkan kepalanya melewati pagar.

“Kiki,” panggilnya. “Kenapa tidak main ke rumah Tante? Ayo, anak manis, kok tahan sendirian di rumah! Molly belakangan ini kesepian tidak ketemu Kiki,” kata Tante Sali.

Kiki menggeleng. Lalu menutup jendela cepat-cepat sebelum tante yang gemuk itu mendesaknya bermain ke situ.

Rupanya Tante Sali tidak tahu bahwa Kiki lagi marah pada Molly, anjingnya itu. Kiki sebal Molly mau seenaknya saja. Kalau ia lagi ingin main, Kiki dikejar-kejarnya. Coba kalau lagi malas, Molly tidak memperdulikannya! Lebih baik bermain dengan si Putih saja! gerutu Kiki dalam hati. Si Putih…

“Ngeong… Ngeong….” Terdengar suara kucing. Kiki segera berlari ke luar.

Beberapa anak laki-laki sedang menghajar si Putih di rumah sebelah. Ada yang menendang, memukul pakai sapu, dan menarik-narik ekornya. Kucing itu hanya bisa mengeong-ngeong kesakitan. Beberapa kali ia mencoba melarikan diri, tapi tertangkap kembali.

Tante Sali menyaksikan itu dengan senang sekali. Bahkan ia menyemangati anak-anak itu. Sedangkan Kiki yang berdiri di sebelahnya berurai air mata. Hatinya yang polos dan lembut tak bisa menerima tindakan semena-mena itu.

Ketika Ibu pulang dari bekerja, Kiki mengadu sambil terisak-isak. Ibu menenangkan anak satu-satunya itu dan berjanji.

“Kalau Nyonya masak daging, nanti Ibu bawa tulang-tulangnya pulang. Untuk kucing pencuri itu. Biar ia tidak lapar. Biar tidak mencuri lagi,” kata Ibu.

Ibu bekerja jadi pembantu di rumah Nyonya Maria. Sejak masih gadis Ibu sudah bekerja di sana. Ibu berhenti bekerja ketika menikah dengan bapak Kiki. Setelah suaminya meninggal, Ibu bekerja kembali di sana.

Ketika tahu Ibu sering membawa pulang tulang-tulang ikan untuk kucing, Nyonya Maria malah memberi daging untuk Kiki. Nyonya Maria maklum keluarga kecil itu tentu jarang makan daging.

“Wah, daging, Bu!” seru Kiki ketika melihat apa yang dibawa ibunya pulang. “Untuk si Putih?”

“Ini gulai. Untuk Kiki saja,” kata Ibu. “Tulang-tulangnya baru kasih si Putih.”

“Nyonya Maria baik sekali ya, Bu. Kalau sudah besar, Kiki mau bekerja di sana juga,” kata Kiki. Ia makan dengan lahapnya sambil tak lupa bercerita tentang si Putih.

Si Putih, kucing pencuri itu, kini menjadi sahabat Kiki. Mulanya memang sulit untuk mendekati Putih. Kucing itu selalu curiga dan waspada. la pasti lari bila didekati. Hanya bila lapar saja, ia mencari Kiki. Karena ia tahu Kiki menyediakan tulang untuknya.

Namun, lama-lama kucing itu menyukai Kiki juga. Kiki satu-satunya manusia yang berlaku hangat dan manis padanya. Kini Putih berubah menjadi kucing yang bersih dan manis. Ia tidak lagi kumal, liar, dan sumber keributan. Sampai-sampai Tante Sali pangling melihatnya.

“Astaga… Ki, ini kan kucing jahat itu!” serunya terbengong-bengong. “Sudah lama ia tak mencuri lagi!”

“Soalnya Putih tak lapar lagi, Tante,” sahut Kiki. “Kiki memberinya makan.”

“Ih, baik begitu, Ki!”

“Kata Ibu, kucing juga mengerti bila disayang. Kalau Kiki mau baik dan sayang pada Putih, pasti Putih juga baik dan jinak.”

Lama Tante Sali termangu. Ia merasa disindir. la malu sekali. Bagaimana mungkin, selama ini ia bisa bersikap begitu kasar terhadap seekor kucing kecil yang kelaparan?

Sampai sini, sudah mulai paham belum dengan materi cerpen? Kalo masih ada poin-poin yang belum kamu mengerti, mending belajar sama ahlinya, deh. Belajar bareng kakak-kakak pengajar di Ruangguru Privat Bahasa Indonesia misalnya. Hehehe…

Belajar nggak cuma menyenangkan, tapi kamu juga bakal diajari konsepnya sampai paham! Para pengajar di Ruangguru Privat juga sudah terstandarisasi kualitasnya, loh. Kamu juga bisa pilih nih, mau diajarkan secara langsung (offline) atau daring (online). Fleksibel, kan? Untuk info lebih lanjut, cuss klik link berikut!

Cerpen berjudul Kancil dan Buaya

Alkisah, di sebuah pinggir hutan, terdapat seekor Kancil yang sangat cerdik. Ia hidup di hutan bersama hewan-hewan lainnya, di antaranya ada kerbau, gajah, kelinci, dan masih banyak lagi. Si Kancil selalu mencari makan di pinggiran sungai.

Pada suatu hari, ia merasa sangat lapar. Kemudian, si Kancil bergagas pergi untuk mencari makan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat sebuah pohon rambutan yang sangat rimbun di seberang sungai. Si Kancil berniat ingin mengambil buah rambutan tersebut, tetapi di dalam sungai terdapat banyak buaya yang sedang mengintai Kancil.

Kemudian, para buaya berkata, “Hey, Kancil! Apakah kau sudah bosan dengan hidupmu, sehingga kau datang kemari?”.

“Eh… tidak. Aku kesini untuk menyampaikan undangan kepada kalian”, jawab Kancil.

Para buaya pun terkejut mendengar perkataan si Kancil. Buaya bertanya, “Undangan apa?”.

Lalu, Kancil menjawab pertanyaan para buaya dengan santai. “Minggu depan raja Sulaiman akan merayakan sebuah pesta dan kalian semua diundang dalam acara tersersebut”.

“Pesta…?” timpal para buaya dengan mulut menganga.

“Iya, pesta. Di sana terdapat banyak makanan. Ada daging rusa, daging kerbau, dan daging gajah pun juga ada.”

“Aaaaakh, pasti kau berbohong! Kali ini kau tidak bisa menipu kami lagi!”, buaya menyahut dengan sedikit marah.

“Eh tidak-tidak, kali ini aku serius”, jawab Kancil untuk meyakinkan para buaya.

“Apa kau yakin…?”, tanya para buaya dengan perasaan khawatir akan ditipu Kancil.

“Iya, yakin”, jawab Kancil.

“Baiklah, kali ini aku percaya kepadamu”, ujar para buaya.

“Nah, sekarang kalian berbarislah dengan rapi, aku akan menghitung berapa jumlah semua buaya yang ada di dalam sungai ini”.

Kemudian, para buaya berbaris dengan rapi. Berharap mereka semua akan mendapatkan makanan yang sama rata. Kancil pun mulai menghitung satu persatu buaya yang ada dalam sungai terebut. Setelah sampai di punggung buaya terakhir, Kancil langsung melompat ke tepian sungai.

Setelah itu, ada seekor tupai yang berkata, “Pesta itu sudah dirayakan minggu lalu, bukan minggu depan. Hahaha!”. Mendengar perkataan tupai, mereka pun merasa tertipu dan sangat marah. Melihat para buaya yang tengah marah, si Kancil malah cengengesan dan menjulurkan lidahnya ke depan. Kemudian, Kancil bergegas pergi dari tepi sungai, dan menuju pohon rambutan yang berbuah lebat itu. Akhirnya, Kancil dapat makan buah rambutan yang dia inginkan.

Cerpen berjudul Lukisan Kasih Sayang

Pak Saiful, seorang pelukis ternama, mempunyai seorang pelayan yang setia. Namanya Mumu. Biasanya setiap pagi Mumu membawakan perlengkapan melukis Pak Saiful, misalnya kanvas, cat minyak, dan kuas. Ia juga membawakan tikar kecil, air minum, dan makanan.

Pak Saiful selalu melukis di tempat yang indah sekaligus mengerikan. Tempatnya di bawah sebatang pohon besar. Di sekitarnya terdapat rumput hijau dan bunga-bunga liar berwarna putih dan kuning. Kupu-kupu dan capung berkeliaran bebas di antara bunga-bunga itu.

Kira-kira 15 meter ke arah selatan dari pohon itu terdapat sebuah rawa kecil yang permukaannya ditutupi oleh daun-daun teratai. Bunga-bunga teratai yang berwarna merah jambu menghiasi permukaan rawa itu. Namun, lumpur rawa itu selalu menelan benda apa saja yang terjatuh ke dalamnya, termasuk manusia.

Suatu hari Pak Saiful baru saja menyelesaikan lukisannya yang sangat indah. Lukisan seorang anak kecil yang sedang menggendong dan membelai anjing kecil berbulu coklat. Siapa pun yang melihat lukisan itu pasti merasa tersentuh. Anak itu menyayangi anjingnya dan anjing kecil itu pun terlihat senang dalam pelukan si anak.

“Mumu, coba ke sini dan lihat lukisanku!” kata Pak Saiful bangga.

“Luar biasa, Pak, sangat indah! Pasti laku dengan harga mahal,” ujar Mumu.

Kemudian Mumu kembali ke bawah pohon dan menyiapkan makanan dan minuman. Sementara itu Pak Saiful mundur beberapa langkah untuk memandang lukisannya lagi. Oh, semakin jauh jaraknya, lukisan itu semakin indah terlihat. Pak Saiful mundur beberapa langkah lagi dan memandang lukisannya kembali. Rupanya ia tak sadar bahwa ia tepat berada di tepi rawa.

Sementara itu Mumu melihat majikannya yang sudah berada di tepi rawa. Alangkah berbahayanya. Bila Pak Saiful mundur selangkah lagi, pasti ia terjatuh ke dalam rawa. Mumu mendekati lukisan di bawah pohon dan mengangkat lukisan itu dari tempatnya.

Pak Saiful berlari ke dekat pohon dan berkata dengan marah, “Apa-apaan kamu ini, Mu. Berani-beraninya kamu mau merusak lukisanku, atau mau mencurinya?!”

“Maaf, Pak, maksud saya…!” jawab Mumu.

Namun Pak Saiful tidak mau mendengar penjelasan Mumu.

“Pergi kau dari sini. Aku tidak memerlukan pelayan yang kurang ajar!” seru Pak  Saiful dengan wajah merah padam.

Terpaksa Mumu pergi. Pak Saiful membereskan alat-alatnya dan membawa perlengkapannya pulang. Uuuh, rupanya berat juga.

Esok paginya Pak Saiful membawa lagi lukisannya ke bawah pohon besar. Karena belum puas memandang, hari ini ia akan memandang sepuas-puasnya tanpa diganggu oleh Mumu.

Mula-mula Pak Saiful memandang lukisannya dari dekat, kemudian ia memperpanjang jaraknya. Akhirnya ia sudah mendekati tepi rawa. Ia tak tahu di balik pohon besar ada sepasang mata mengawasinya.

“Karya hebat. Aku sendiri pun hampir meneteskan air mata memandang lukisan itu. Orang akan tergugah untuk menyayangi binatang. Dan mereka akan berpikir bahwa kasih sayang itu sesuatu yang amat penting dan berharga!” pikir Pak Saiful. Tanpa sadar Pak Saiful mundur lagi dan… oooh… ia terperosok ke dalam rawa.

“Tolooong… tolooong!” jerit Pak Saiful dengan panik. Ia sadar bahwa dirinya akan terhisap ke dalam lumpur rawa dan maut akan segera menjemputnya. Saat itulah Mumu muncul sambil membawa tambang. Ia sudah mengikatkan tambang di sebuah pohon besar dekat rawa.

“Pegang tambang ini, Pak!” kata Mumu sambil mengulurkan tambang. Lalu Mumu cepat-cepat menarik tambang sekuat tenaga, menarik Pak Saiful dari rawa. Keringat bercucuran di wajah Mumu, namun akhirnya ia berhasil menyeret majikannya keluar dari rawa. Begitu tiba di rerumputan, Pak Saiful pingsan.

Ketika sadar, ia sudah berada di rumahnya dalam keadaan bersih, Mumu sudah mengurus segala sesuatunya dengan baik.

“Terima kasih, Mumu, kamu menyelamatkan nyawaku!” kata Pak Saiful. “Maafkan aku!”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya senang Bapak selamat. Saya mengangkat lukisan Bapak kemarin karena saya ingin menarik perhatian Bapak. Bapak sudah berada di tepi rawa waktu itu. Saya kuatir Bapak akan jatuh. Tadi saya berjaga-jaga dan menyiapkan tambang karena saya kuatir Bapak asyik memandang lukisan dan terperosok ke dalam rawa!” kata Mumu.

Mumu, si pelayan setia mendapat hadiah dan kembali bekerja pada Pak Saiful. Kasih sayang seorang anak pada anjingnya, kasih sayang seorang pelayan pada majikannya membuat Pak Saiful makin menyadari arti kasih sayang. Dan sebagai rasa syukur, Pak Saiful memberikan hasil penjualan lukisan itu pada panti asuhan.

Cerpen berjudul Kelelawar di Atas Kepala Mama

Kelelawar di Atas Kepala Mama

Mama tak pernah marah padaku. Ia selalu muncul sebagai peri nan cantik. Rambut panjang mama tergerai indah, itu yang selalu kulihat. Selebihnya, suara lembut yang kudengar bila ia dekat-dekat denganku. Mama tak pernah meninggalkanku di malam hari. Pernah aku tersedak ketika tengah makan malam. Ia menepuk-nepuk punggungku seraya berkata, ’’Tak apa-apa.’’ Ah, mama yang baik.

’’Ini tinggimu sudah sebahu Mama.’’

’’Mama yang terlalu pendek.’’

Lalu kami berdekapan. Pelukan Mama menjadi sesuatu yang menenangkanku. Juga saat sekelompok kelelawar datang padaku di tengah malam. Aku bangun. Kaget. Keringat dingin mengucur. Aku bilang, aku takut Ma. Kelelawar itu banyak sekali. Awalnya mereka hanya terbang di dekat jendela. Aku diam. Lalusatu kelelawar masuk lewat lubang celahudara. Aku mulai takut. Dan akhirnya semua kelelawar itu terbang di atas kepalaku. Rangkaian Peristiwa:

Kelelawar jatuh di atas kepalaku. Tak hanya satu. Tapi segerombolan. Seekormenutupi mulutku. Lalu mataku. Lalu telingaku. Hingga seluruh kepalaku terbenam. Mama datang, kelelawar pun pergi. Wajah mama merah. Baru sekali ini aku melihat Mama seperti itu. Biasanya wajah Mama putih bersih. Mengapa sekarang merah?

’’Jangan teriak-teriak!’’

’’Aku takut kelelawar.’’

Mama menuju ke jendela, membuka sebentar, lalu menutupnya kembali.

’’Sudah pergi semua.’’

Pagi harinya, Mama masih dengan wajah merah. Aku menunduk, tak berani tanya. Sudahlah, yang penting Mama tak apa-apa, pikirku. Merah di pipi Mama tak hilang juga. Padahal sudah berbulan-bulan terlewat. Aku masih melihat semburat merah pipi Mama walau tipis. Awalnya aku takut. Namum lama-lama terbiasa juga.

Kelelawar dan merah pipi Mama kini tak asing lagi. Mama lebih sering menemaniku. Sebenarnya, aku tak terlalu butuh ditemani. Kelelawar tak membuatku takut lagi.

’’Mama yang butuh ditemani, Sayang,’’ katanya.

Mama jadi sering tidur di bersamaku.

PIPI mama semakin memerah bila usai menelepon. Entah dengan siapa. Setidaknya itu yang kulihat.

Mama segera beranjak bila mendengar bunyi telepon. Ia tak jadi menyuapiku. Aku melongo saja saat melihat langkahnya menghampiri gagang telepon, dan mendengarnya tertawa cekikikan. Aku harus makan sendiri, tak ingin merepotkan Mama lagi. Maka kubiarkan Mama asyik dengan teleponnya, dan aku asyik dengan makananku.

’’Apa Papa mau pulang, Ma?’’

’’Masih lama, Sayang,’’

’’Mama tampak senang sekali.’’

’’Ya, memang. Mama sedang bahagia.’’

Lalu pipi Mama memerah lagi. Jujur, aku suka Mama yang seperti ini. Tak murung lagi. Dulu, Mama lebih sering terlihat sedih. Pipinya tak semerah ini. Aku sering melihatnya menangis di tepi kolam. Waktu itu ia duduk di tepi kolam sembari kakinya menjulur masuk ke dalam air. Aku tak berani mendekat, hanya melihat dari kejauhan saja. Meski jauh, aku dapat melihat Mama tengah mengusap pipinya, tak merah seperti ini.

Biasanya, pipi merah Mama akan tampak setelah kepulangan Papa. Satu atau dua hari setelah Papa pergi lagi, merah pipinya luntur kembali. Papa hanya pulang sesekali saja. Ia masuk kamarku, mengecup keningku, lalu segera menuju kamarnya. Itu yang sering ia lakukan. Aku sampai tak hafal bau keringat Papa. Yang aku tahu, perut Papa gendut dan bulat. Wajahnya lucu. Hanya itu saja. Hanya satu atau dua hari saja perjumpaanku dengan Papa. Lalu ia pergi lagi.

’’Papa kerja dulu, Sayang.’’

Dan Papa pun pergi lagi sampai berminggu-minggu.

Namun kini merah pipi Mama tak surut juga. Padahal sudah berminggu-minggu yang lalu Papa pergi. Aneh.

’’Kita harus pergi, Sayang. Ini darurat.’’

Aku kaget. Pagi masih buta sekali. Dan aku masih ingin tidur.

’’Mau ziarah ke kota tua, Ma?’’

Lalu Mama menggandengku, setengah paksa. Aku menuruti langkahnya. Kami menuruni tangga, menuju mobil, keluar gerbang, semua serba terburu-buru.

’’Iya sayang, aku akan menyusulmu,’’ Mama bersuara dengan teleponnya.

Mobil dipacu Mama dengan cepat sekali. Aku sampai takut. Kami melaju di tengah kota yang masih lengang. Mobil keluar dari perkotaan dan melewati jalanan yang sepi. Aku tak tahu kemana Mama akan membawaku. Aku berpegangan erat pada jok mobil. Mama menyuruhku duduk di belakang, dan ia mengemudikan mobil.

Jalanan masih lengang. Ketika aku tanya hendak ke mana, Mama malah membentakku. Aku mengangis. Lalu Mama menyuruhku diam. Aku sedikit takut. Mama tak pernah membentakku seperti ini. Bahkan ketika aku buang air di celana pun, ia tak pernah marah. Namun mengapa Mama sekarang jadi seperti ini?

Dari kaca, aku melihat wajah Mama. Cantik dan merah. Namun merahnya bukan seperti yang kemarin. Kini merah padam. Mama kini lebih terlihat seperti iblis. Menyeramkan.

Mobil berhenti. Aku melihat ke luar. Mama menyuruhku untuk tetap tinggal di mobil. Ia keluar lalu masuk ke dalam sebuah rumah kecil. Aku takut. Aku ingin ikut, namun Mama melarang. Aku menunggu dengan cemas. Mungkin inilah kali pertama aku merasakan kecemasan dalam hidupku. Mama tak penah meninggalkanku sendirian seperti ini.

Aku kaget ketika pintu mobil dibuka. Mama duduk di depan. Seorang lelaki dengan tato di lengan kiri tengah duduk di belakang kemudi. Aku takut. Badanku menggigil. Aku meraih jaket Mama, menutupkannya di wajahku. Lelaki itu tak pernah kulihat sebelumnya. Sepanjang hidup, aku hanya mengenal tiga lelaki, Papa, Pak Sopir, dan tukang kebun rumah kami.

’’Kamu bawa anak ini?’’

’’Dia akan menyusahkan.’’

’’Ah, terserah kau saja. Tapi aku tak mau dipusingkan dengan anak idiot.’’

Lalu semua diam. Jalanan mulai lengang. Aku masih diam dengan wajah tertutup jaket. Hanya sesekali aku mencuri pandang lewat celah jaket yang sengaja kubuka. Mama menutup mata, entah tidur atau hanya pura-pura tidur. Tiba-tiba jalanan gelap. Aku membelalakkan mata, jaket kuletakkan, mencari seberkas cahaya. Sekawanan kelelawar menutupi mobil yang kami tumpangi. Aku semakin takut. Aku sudah terbiasa dengan puluhan ekor kelelawar. Namun mungkin ini ribuan.

’’Nah kan, anak idiot ini merepotkanmu.’’

’’Mama, aku takut kelelawar.’’

’’Tak ada kelelawar, Sayang.’’

’’Itu,’’ aku menunjuk kepala Mama, seekor kelelawar besar berada di atasnya.

Aku melihat lelaki itu tersenyum. Wajahnya seperti kelelawar.

’’Mama, kelelawar itu menarik rambut Mama.’’

’’Suruh anak itu diam!’’

Aku menutup wajah rapat-rapat. Teriakan lelaki itu membuatku takut. Mobil kami melaju semakin kencang. Mama berteriak-teriak. Aku masih menutup mata. Aku takut dengan kelelawar di atas kepala Mama. Lelaki itu sepertinya memukul Mama. Aku takut. Mama menangis.

’’Brengsek kamu ternyata….’’

’’Aku mau pulang. Kembalikan semuanya!’’

Lalu semuanya hening. Mama luka di bagian kepala. Aku membuka mata dan melihat lelaki itu pergi.

’’Mama, kelelawarnya sudah pergi semua.’’

Aku menyeka kepala Mama. Darah menempel di jariku. Lelaki itu tak kembali juga. Aku kasihan dengan Mama. Namun semua gelap ketika lelaki itu muncul dengan tiba-tiba.

Dan semua benar-benar gelap.

’’Untunglah anak ini selamat.’’

Aku membuka mata. Beberapa kelelawar yang menutup mataku tadi telah pergi.

’’Mama,’’ aku memanggil Mama. Apakah kelelawar di atas kepalanya telah pergi?

’’Ini ada Papa, Sayang.’’

Aku melihat Papa dengan wajah lucunya, tak seperti kelelawar. Segera kuraih pipinya, mencari kelembutan sisa-sisa belaian Mama di sana. Tak ada kelelawar di atas kepala Papa, tak seperti kepala Mama waktu itu.

’’Pak, ada dokumen yang harus diisi. Pihak kepolisian sudah menunggu.’’ Seseorang mengagetkan Papa.

’’Jadi siapa nama Anak ini?’’

’’Jadi apa saja yang dirampok, Pak?’’

’’Mobil, perhiasan, dan anehnya, sertifikat tanah kok bisa ikut dibawa di mobil, itu yang sedang saya pikirkan.’’

’’Baik Pak, untuk kasus perampokan ini, kami akan menindaklanjuti lebih jauh.’’

Aku melihat lelaki dengan baju cokelat dan topi yang lucu. Lalu Papa berlalu bersamanya.

Papa menoleh ke arahku.

’’Ada Mama. Di situ. Dengan kelelawar,’’ aku menunjuk pojok ruangan. Mama tersenyum dengan wajah merah dan kelelawar di atasnya.

Papa tersenyum. Seseorang di sampingnya kaget.

’’Dia belum tahu bahwa mamanya sudah meninggal.’’

Lalu Papa melangkah pergi. Benar-benar pergi. Dan Mama masih berdiri dengan wajah merah dan kelelawar di atas kepalanya.

’’Mama, kelelawar itu menarik-narik rambut Mama.’’ Namun Mama hanya tersenyum. Papa telah hilang di balik pintu. Dan kini Mama lenyap ke dalam tembok.

’’Sean, jangan nakal ya!’’ seorang wanita mendekatiku. Ia bukan Mama.

’’Ada kelelawar di atas kepala Mama. Mereka menarik-narik rambut Mama,’’ aku mengucapkannya berkali-kali.

Baca Juga: Mengenal Syair: Pengertian, Sejarah, dan Jenis | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Gara-Gara Nenek Lupa

Setiap akhir tahun, sekolah Rino libur. Di saat itu, Rino, Ayah, dan Ibu akan naik ke mobil dan berkunjung ke rumah Nenek Ida di desa. Nenek Ida mempunyai ladang. Rino suka sekali berlibur ke desa Nek Ida.

Setiap pertengahan tahun, sekolah Rino juga libur. Namun di saat itu, giliran Nek Ida yang berkunjung ke rumah Rino. Begitulah cara keluarga Rino mengatur liburan. Agar tidak bosan, kadang mereka liburan di kota, kadang di desa pertanian.

Akan tetapi, di tahun ini, Nenek Ida membuat kesalahan.

“Aku yakin, saat ini, giliranku untuk liburan ke kota,” gumam Nek Ida yang mulai pelupa. Pelan-pelan, ia lalu mengemasi baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam koper.

Pada saat yang sama, ibu Rino juga sedang mengemasi tas. Ibu tampak tidak bersemangat. Sambil menutup tasnya, ibu Rino berkata,

“Ibu sebetulnya ingin sekali bisa liburan ke pantai. Sekaliii saja supaya tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya.”

Rino dan adiknya langsung berseru setuju.

“Aku juga ingin ke pantai, Bu! Jangan ke rumah Nek Ida terus atau cuma berkeliling kota ini. Bosan. Kalau liburan ke laut, kita kan bisa berenang dan menggali pasir. Yah, Ayah, tahun ini kita liburan ke pantai, saja ya?” seru Rino bersemangat.

“Tentu saja tidak bisa, sayang,” kata ayah Rino. “Akhir tahun ini, kita akan mengunjungi Nenek seperti biasa. Jangan sampai Nenek kecewa dan bertanya-tanya kalau kita tidak datang. Tahun depan saja kalau mau ke pantai. Supaya Nenek juga sudah diberitahu jauh-jauh hari.”

Rino jadi lesu. Namun, kata-kata ayahnya ada benarnya. Nek Ida pasti sedih kalau mereka tidak datang ke pertaniannya. Rino tak ingin membuat neneknya yang baik hati itu jadi sedih.

Keesokan harinya, cuaca sangat cerah. Rino, Ayah dan Ibu naik ke mobil. Tak lama kemudian, mereka sudah ada dalam perjalanan menuju peternakan Nek Ida.

Di sepanjang jalan yang agak macet dan panas, Rino masih berharap andai mereka bisa berlibur ke pantai. Karena ayah Rino mulai kehausan, ia menepikan mobil di dekat kafe pinggir jalan.

Mereka bertiga turun dari mobil. Tiba-tiba, wajah ibu Rino tampak kaget, gembira dan dengan bersemangat menunjuk ke parkiran.

“Lihat! Mobil itu mirip mobil Nenek!”

Rino dan ayah menengok. Mereka bertiga lalu melangkah pelan mendekati mobil itu. Astaga, itu memang mobil Nek Ida. Nenek bersandar di pintu mobil dan sedang menyeruput jus jeruk.

Seketika itu juga, Rino berlari dan memeluk neneknya. Ayah dan Ibu juga memeluk Nenek dan bertanya heran.

“Ibu mau ke mana?” tanya Ayah.

“Tentu saja mau ke rumah kalian!” kata Nek Ida heran. Namun ia lalu menyadari kesalahannya. “Astaga, harusnya, ini giliran kalian berlibur di pertanian, ya?” serunya.

Ibu Rino tersenyum cerah.

“Tidak apa, Bu! Sekarang, kita buat rencana baru saja. Bagaimana kalau tahun ini kita bikin perubahan. Ibu mau kalau kita berlibur ke pantai?” tanya ibu Rino penuh harap.

Wah, tak disangka, wajah Nek Ida berubah sangat ceria.

“Tentu saja Nenek mau! Nenek mau bermain air laut!” kata Nek Ida penuh semangat.

“Yeeeeeey… Nanti aku temani Nenek main air!” teriak Rino tak kalah girang.

Rino, Ayah dan Ibu tertawa geli melihat Nenek dan cucunya yang bersemangat. Kini, ayah Rino sibuk melihat peta jalannya.

“Hmmm! Sekarang ini, kita hanya berjarak sembilan mil dari pantai. Jadi, ayo kita ke sana sekarang!” ajak ayah Rino.

Di mobil, Nek Ida tertawa dan berkata,

“Liburan kita mungkin sudah mulai membosankan dan tercampur aduk. Makanya Nenek sampai lupa harus tetap di pertanian atau mengunjungi kalian! Syukurlah, Nenek membuat sedikit kesalahan!”

“Semua orang pernah berbuat kesalahan, Nek. Tapi, kesalahan Nenek ini sungguh menyenangkan!” kata Rino.

Mereka semua tertawa lagi. Dan ketika udara pantai yang asin mulai tercium, hati mereka semakin gembira.

Cerpen berjudul Tarom

Agen saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau transit di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua teman di bandara ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat.

Pada waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa tahun lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: ”Ibu kamu pasti orang Jerman. Ayah kamu pasti orang Asia Tenggara.”

Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan anak perempuan pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru, dan setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman.

Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya, pasti dia memberi sauerkraut, salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama saya Tarom Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang kecil di bagian belakang restoran.

”Lihat, Tarom, saya punya buku kamu.”

Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai lika-liku kejiwaan tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman.

”Buku hebat,” katanya. ”Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.”

Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: ”Di sini ada gadis Jerman, Gertrude namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke mana-mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.”

Dia berbisik lagi: ”Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum penulis hebat bernama Tarom Wibowo. Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting psikologimu benar-benar hebat.”

Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, karena itu memilih untuk diam, dan tampaknya perasaan Gertrude sama. Kami berjabat tangan sampai lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama berkeringat dan sama-sama malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, perasaan aneh merambat perlahan-lahan dari tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas bercampur hawa dingin. Dan begitu saya menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu dia menunduk, tampak malu.

Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA masuk. Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan dia masuk lagi, bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di Frankfurt untuk mengurus jual beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai negara, pesan Gertrude datang bagaikan banjir.

Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lalu mengajak saya ke ruang tunggu khusus.Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam beberapa buku saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt.

”Kalau kamu ke Berlin, ajaklah saya. Tunjukkanlah tempat-tempat yang kamu tulis dalam buku-buku kamu. Dan kalau kamu pulang, saya ikut ke Surabaya.”

Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu ”Imagine” The Beatles, ”You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.”

Seperti biasa, ketika akan ke Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya ingin naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.

Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar tiga tahun lalu. Semua orang penting di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar, diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan modal laki-laki hanyalah otot.

Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui berbagai media. Saya belum pernah bertemu mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal mereka. Pilot bernama Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal, kopilot bernama Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal. Sejak zaman mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah menjadi dokter mereka bekerja di rumah sakit yang sama.

Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di rumah sakit yang sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor dua. Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus SMA mereka sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter. Alasan mereka sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib, yang laki-laki genius tapi homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan, berkatalah Leonardo: ”Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berkata apa-apa.

Awilia dan Azanil sama-sama mengirim lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus di Toulouse, Perancis, sama-sama diterima, dan lulus juga bersama-sama, masing-masing dengan nilai tinggi. Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun Awilia ingin gantian menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. ”Yang muda harus menghargai yang tua,” katanya bergurau.

Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas kecil.

”Selamat terbang bersama kami pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di Abu Dhabi.”

Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak kontrak dan jual beli hak cipta dari sekian banyak pengarang dan penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti, dan ada banyak pula buku yang harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch, bekas pengawal pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur.

Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia kepada manusia bernama Hitler, dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan Dewi Matahari, yaitu Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa Jerman dengan penuh semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan oleh hasutan manusia.

Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua tawanan perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih baik daripada serdadu Jepang sendiri.

Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno menyatakan perang melawan Malaysia dengan semboyan ”Ganyang Malaysia”. Serdadu Indonesia dan serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju musuh, berangkulan erat, bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya pura-pura, perang ini dengan mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman pura-pura bertempur, tidak lain karena mereka bersiap-siap bersekutu untuk menghancurkan dunia dalam PD II.

Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya, lalu meminta saya membaca majalah Femina tahun 1980-an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang Indonesia. Istri Jepang sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa dibawa lari, dia akan lari bersama anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh keluarganya di Jepang. Ibu saya berbicara mengenai dua bangsa ini karena dia tahu saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis Jerman.

Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai kemampuan terpendam, dan ternyata benar: begitu tahu ada pabrik akan bangkrut, ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli pabrik smelting yang hampir bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya, kemudian menjualnya kepada orang India.

Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan terpendam: lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia pembuatannya. Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dia sering diundang ke mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai masakan.

Ketika iseng mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit sebuah majalah, dan di berbagai halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan sebagai pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai negara menyimak bandara di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar. Gertrude pemalu, pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti di luar kemauan dia.

Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude, Manfred keturunan serdadu Jerman yang suka menyiksa, merampok, dan memerkosa di negara-negara jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi kadang-kadang harus kembali ke Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.

Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan buku-buku saya, buku yang, kata mereka, menemani mereka dari bandara satu ke bandara lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati lika-liku jiwa mereka sendiri.

Mereka mengajak saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah menunggu. Dengan nada bercanda mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat, pasti saya mampu mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel.

Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berkata kepada Gertrude mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut setianya bertekad bunuh diri bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek holocaust yang sangat keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya melarikan diri.

Gertrude menunduk, lalu berkata: ”Saya tahu siapa dia. Martin Bormann namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.”

Pikiran saya melayang ke ibu saya. ***

Baca Juga: Bagaimana Cara Membedakan Fakta dan Opini dalam Teks Iklan? | Bahasa Indonesia Kelas 9

Cerpen berjudul Sesaat Sebelum Berangkat

Sesaat Sebelum Berangkat

Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.

Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.

”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”

Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.

”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”

Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.

”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”

”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”

”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”

”Dan kamu tidak memberitahuku.”

”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”

”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”

Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan.

Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.

”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”

Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”

”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”

”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”

”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”

”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”

”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”

”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”

Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.

”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.

Aku mulai merasa darahku naik.

”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.”

Darahku semakin terasa naik.

”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”

Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?”

Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.

”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”

Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”

”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.

”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”

”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”

”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”

”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”

”Tapi kamu bukan aku.”

”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”

”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”

”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”

”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil untuk menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.

”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?”

Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.

”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”

Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”

”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”

”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”

Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.

”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”

”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”

Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.

”Rif, kamu menikah saja belum.”

”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”

”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”

”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”

”Apa yang dia katakan?”

”Dia ingin pindah sekolah.”

”Itu sekolah paling favorit.”

”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”

”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”

”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”

”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”

”Ia ingin kursus bahasa Perancis.”

”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”

”Dia ingin kursus main drum.”

”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”

”Kenapa dia tidak boleh memilih?”

”Karena dia belum bisa memilih.”

”Dia terlalu capek dengan itu semua…”

”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”

”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”

”Dia masih kelas satu SMA!”

”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”

”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”

”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”

”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”

”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”

”Aku tidak butuh informasi itu.”

Kali ini, darahku benar-benar mendidih.

”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.

”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”

Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.

”Kamu langsung pulang atau menginap?”

”Aku masih ada urusan kantor.”

Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi.

Ia bangkit, lalu melangkah pergi.

Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”

Ia kembali berjalan menuju pintu.

Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.

Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.

Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis si atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.

”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.

Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.

”Kita bisa ketinggalan pesawat…”

Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”

”Kenapa bisa begitu?”

Aku menatap wajah pacarku. ”Aku tidak sanggup datang.”

”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”

”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”

Aku menganggukkan kepala.

Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.

”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”

Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.”

Mita melangkah pergi keluar.

Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya.

Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.

Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?

Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.***

Cerpen berjudul Jendela

Oleh: Haruki Murakami

Musim dingin berlalu setiap harinya, dan kini matahari bersinar dengan isyarat kedatangan musim semi. Saya percaya Anda baik-baik saja.

Surat Anda yang terakhir, saya baca dengan penuh gembira. Terutama bagian tentang hubungan antara hamburger dan bubuk pala, saya rasa, ditulis dengan sangat baik: begitu kaya dengan perasaan alamiah dari kehidupan sehari-hari. Betapa jelas Anda menggambarkan aroma hangat dari dapur, bunyi ketukan lincah pisau pada papan talenan ketika mengiris bawang!

Ketika saya melanjutkan membaca, surat Anda memenuhi diri saya dengan perasaan semacam keinginan tak tertahankan untuk pergi ke restoran terdekat dan membeli sebuah hamburger steak malam itu juga. Kenyataannya, terutama sekali di dekat lingkungan tempat tinggal saya, sebuah restoran menawarkan delapan varietas berbeda dari hamburger steak ketika saya memesan makanan itu: Texas-style, Hawaiian-style, Japanese-style, dan sejenisnya. Texas-style memiliki ukuran besar. Bulat. Tak diragukan lagi hamburger itu akan mengejutkan setiap orang Texas yang mungkin menemukan restoran ini ketika mereka berada di Tokyo. Hawaiian-style dihiasi dengan irisan nanas. California-style… saya lupa lagi. Japanese-style dilapisi dengan parutan lobak. Restoran itu ditata cukup rapi. Pelayannya cantik-cantik, memakai rok yang sangat pendek.

Bukan berarti saya pergi ke tempat itu untuk mengagumi dekorasi interior restoran atau kaki jenjang para pelayan. Saya ada di sana hanya untuk satu alasan, dan itu adalah makan hamburger steak—bukan Texas-style atau California-style atau jenis yang lainnya, tetapi yang biasa-biasa saja, sebuah hamburger steak yang sederhana.

Yang seperti itulah yang saya pesan kepada pelayan. “Maaf,” pelayan itu menjawab, “tapi hamburger steak jenis seperti ini dan jenis seperti itu yang kami punya di sini. Tidak ada hamburger steak, seperti yang Anda katakan, yang biasa-biasa saja.”

Saya tidak bisa menyalahkan si pelayan, tentu saja. Dia tidak mengatur menu. Dia tidak memilih untuk mengenakan seragam yang mempertontonkan sebagian besar pahanya setiap kali ia membersihkan piring dari atas meja. Saya tersenyum kepadanya dan memesan hamburger steak Hawaiian-style. Sebagaimana saran si pelayan, saya hanya harus menyisihkan irisan nanas ketika memakannya.

Bukan berarti saya pergi ke tempat itu untuk mengagumi dekorasi interior restoran atau kaki jenjang para pelayan. Saya ada di sana hanya untuk satu alasan, dan itu adalah makan hamburger steak—bukan Texas-style atau California-style atau jenis yang lainnya, tetapi yang biasa-biasa saja, sebuah hamburger steak yang sederhana.

Yang seperti itulah yang saya pesan kepada pelayan. “Maaf,” pelayan itu menjawab, “tapi hamburger steak jenis seperti ini dan jenis seperti itu yang kami punya di sini. Tidak ada hamburger steak, seperti yang Anda katakan, yang biasa-biasa saja.”

Saya tidak bisa menyalahkan si pelayan, tentu saja. Dia tidak mengatur menu. Dia tidak memilih untuk mengenakan seragam yang mempertontonkan sebagian besar pahanya setiap kali ia membersihkan piring dari atas meja. Saya tersenyum kepadanya dan memesan hamburger steak Hawaiian-style. Sebagaimana saran si pelayan, saya hanya harus menyisihkan irisan nanas ketika memakannya.

Aku telah melakukan pekerjaan paruh-waktu ini hampir selama satu tahun. Usiaku dua puluh dua pada saat itu.

Aku menerima tiga puluh atau lebih surat seperti ini setiap bulan, dengan bayaran dua ribu yen, aku bekerja untuk sebuah perusahaan kecil aneh di distrik Iidabashi yang menamakan diri “Perkumpulan Pena.”

“Anda juga bisa menulis dengan menawan,” begitulah iklan perusahaan itu membual. “Anggota” baru membayar biaya pendaftaran dan iuran bulanan, dengan imbalan mereka bisa menulis surat empat kali dalam sebulan kepada Perkumpulan Pena. “Master Pena” kami akan menjawab surat mereka dengan surat yang kami tulis sendiri, seperti yang dikutip di atas, berisi koreksi, komentar, dan bimbingan untuk perbaikan di masa mendatang. Aku datang untuk wawancara kerja setelah melihat iklan yang dipasang di ruang bagian kemahasiswaan jurusan Sastra. Pada saat itu, beberapa kegiatan membuatku harus menunda kelulusanku selama satu tahun, dan orangtuaku mengatakan bahwa mereka akan mengurangi uang bulananku karenanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku dihadapkan pada situasi di mana aku harus mencari nafkah sendiri. Selain wawancara, aku diminta untuk menulis suatu karangan, dan seminggu kemudian aku dipekerjakan. Selama seminggu kemudian aku mengikuti pelatihan bagaimana melakukan koreksi, menawarkan bimbingan, dan beberapa keterampilan, tak ada yang benar-benar menyulitkan.

Semua anggota Perkumpulan dibimbing oleh para Master Pena dari lawan jenisnya. Aku memiliki total dua puluh empat anggota, berusia antara empat belas hingga lima puluh tiga tahun, mayoritas berusia dua puluh lima hingga tiga puluh lima tahun. Bisa dibilang, sebagian besar mereka lebih tua dariku. Bulan pertama, aku begitu panik: Para wanita itu ternyata menulis jauh lebih baik dariku, dan mereka memiliki lebih banyak pengalaman sebagai koresponden. Terlebih, aku hampir tidak pernah menulis surat yang serius selama hidupku. Aku tidak yakin akan berhasil melewati semua itu pada bulan pertama. Aku berkeringat dingin terus-menerus, yakin bahwa sebagian besar anggota yang menjadi tanggung jawabku akan menuntut si Master Pena awam ini—hak istimewa untuk hal ini sangat ditekankan di dalam aturan Perkumpulan.

Satu bulan pun berlalu, dan tak satu pun anggota melayangkan keluhan tentang tulisanku. Sebaliknya, jauh dari hal itu. Pemilik perusahaan mengatakan bahwa aku begitu populer. Dua bulan lagi berlalu, dan bahkan kelihatannya penghasilanku mulai membaik berkat “bimbingan” yang kulakukan. Ini agak aneh. Wanita-wanita itu memandangku sebagai guru mereka dengan kepercayaan penuh. Ketika menyadari keadaan ini, hal itu memungkinkanku untuk menulis kritik kepada mereka dengan usaha yang jauh lebih sedikit serta tidak terlalu merasa cemas karenanya.

Aku tidak menyadarinya saat itu, bahwa wanita-wanita itu kesepian (sebagaimana juga anggota laki-laki di Perkumpulan). Mereka ingin menulis surat tetapi tak ada seorang pun yang dapat mereka kirimi surat. Mereka bukan tipe yang mengirim surat penggemar kepada seorang penyiar. Mereka ingin sesuatu yang lebih pribadi—bahkan jika hal itu harus datang dalam bentuk koreksi dan kritikan.

Dan begitulah hal itu terjadi, aku menghabiskan sebagian usia awal dua puluhanku seperti ikan duyung cacat dalam sebuah harem yang panas dipenuhi surat-surat.

Yang luar biasa adalah surat-surat mereka yang bervariasi! Surat yang membosankan, surat yang menyenangkan, surat yang menyedihkan. Sayangnya, aku tidak boleh menyimpan salah satu dari surat-surat itu (peraturan mengharuskan kami mengembalikan semua surat kepada perusahaan), dan semua itu telah cukup lama terjadi hingga aku tidak ingat lagi secara rinci, tetapi aku mengingat mereka sebagai sesuatu yang memenuhi kehidupanku dengan segala macam aspeknya, mulai dari pertanyaan-pertanyaan besar hingga hal-hal kecil yang remeh-temeh. Dan pesan yang mereka kirimkan kepadaku kelihatannya sama—bagiku, seorang mahasiswa perguruan tinggi berusia dua puluh dua tahun—yang secara aneh terpisah dari kenyataan, tampak pada saat yang bersamaan sebagai sesuatu yang benar-benar tak berarti. Hal ini juga bukan semata-mata karena kurangnya pengalaman hidupku sendiri. Sekarang aku menyadari bahwa kenyataan dari hal-ihwal itu sendiri bukanlah sesuatu yang kau sampaikan kepada orang-orang, melainkan sesuatu yang kau perbuat bagi mereka. Inilah yang pada gilirannya menjadi bermakna. Aku tidak tahu hal itu akan berkembang menjadi apa selanjutnya, tentu saja, begitu pula dengan wanita-wanita itu. Pasti hal inilah salah satu alasan mengapa segala sesuatu di dalam surat mereka secara dua-dimensi terasa aneh bagiku.

Ketika tiba saatnya bagiku untuk meninggalkan pekerjaan itu, semua anggota yang kubimbing menyatakan penyesalan mereka. Meski begitu, terus terang, ketika aku mulai merasa bahwa sudah cukup bagiku melakukan pekerjaan tak berujung menulis surat-surat seperti itu, aku merasa menyesal juga, dengan caraku sendiri. Aku tahu aku tidak akan pernah lagi memiliki begitu banyak orang yang membuka diri mereka kepadaku dengan kejujuran yang sederhana seperti itu.

Cerpen berjudul Kegemaran yang Langka

Kegemaran yang Langka

Ibu Mimi berjualan makanan di depan rumahnya. Banyak pegawai kantor yang datang dan makan di kantin ibu Mimi. Setiap hari, ibu Mimi membeli banyak kaki ayam. Karena ada satu makanan berkuah yang lebih lezat bila dimasak dengan kaki ayam.

Nah, kaki ayam ini amat disukai Mimi. Rasanya gurih, legit, dan … pokoknya nikmat. Waktu masih kecil Mimi sering makan 2 buah kaki ayam. Sekarang, setelah kelas V, Mimi bisa menghabiskan setengah lusin kaki ayam.

Tetapi, kegemaran Mimi ini nyaris terhenti.

Suatu siang, Rita dan Agnes datang saat Mimi sedang makan siang. Di hadapannya ada semangkuk kaki ayam, lengkap dengan cekernya. “Hai, kalian mau makan? Ayo, kita makan.

Agnes dan Rita saling berpandangan, lalu tertawa.

“Kenapa?” tanya Mimi heran.Tangannya tetap memegang sepotong kaki ayam.

“Aku heran, kamu kok nikmat benar makan kaki ayam. Aku tak pernah mau memakannya!” jawab Rita.

“Aku juga. Malah aku baru pernah lihat ada orang suka makan kaki ayam!” tambah Agnes.

“Oh, ya? Aku kira banyak orang yang suka makan kaki ayam. Lezat kok. Ah, mungkin kalian berdua saja tidak suka karena belum pernah mencobanya. Cobalah satu!” Mimi menawarkan.

Rita dan Agnes menunjukkan wajah jijik.

“Aku jadi ingin tahu berapa orang anak di kelas kita yang suka makan kaki ayam!” tiba-tiba Rita berkata.

“Baik, besok aku akan menanyakan pada teman-teman kita. Akan kubuktikan cukup banyak orang yang tahu lezatnya kaki ayam!” kata Mimi bersemangat.

Esok harinya, Mimi membawa notes kecil dan menuliskan nama-nama kawan sekelasnya yang 37 orang itu. Lalu, ia menanyai mereka satu persatu. Pekerjaan itu tidak sulit. Ia melakukannya sebelum bel masuk berbunyi, waktu istirahat pertama dan kedua. Namun, hasilnya mengecewakan Mimi. Ternyata, tak seorang pun kawan sekelasnya suka makan kaki ayam.

Sekarang Mimi mulai ragu-ragu. Jangan-jangan ia yang aneh karena suka makan kaki ayam. Apakah sebaiknya mulai sekarang ia tidak makan kaki ayam lagi? Tetapi, bisakah ia menghentikan kegemarannya itu?

Masih tengiang-ngiang di telinganya jawaban kawan-kawannya, “Ih, aku sih jijik.”

“Ayam biasanya mencakar di tempat-tempat sampah,” kata Yuli.

“Ha, ha, ha, kamu suka makan kaki ayam? Kamu juga suka buntut dan kepala ayam?” goda Dani.

“Ih, amit-amit seperti tak ada makanan lain saja!” kata Ine.

Sepulang sekolah wajah Mimi murung. la tak mengira kegemarannya itu merupakan kegemaran yang langka. “Sudah pulang, Mi? Itu di panci ada kaki ayam,” ujar Ibu.

Mimi menggelengkan kepalanya.

“Lho, ada apa?” tanya Ibu heran. Mimi menceritakan masalahnya, lalu berkata, “Ibu tak pernah bilang kalau banyak orang tak mau makan kaki ayam!”

Ibu tertawa dan berkata, “Memangnya kenapa? Nah, coba kamu jawab pertanyaan-pertanyaan ini. Lalu, kamu ambil keputusan apakah kamu mau meneruskan atau menghentikan kegemaranmu!”

“Pertama, kalau kamu suka kaki ayam apakah dirimu menjadi rugi?” tanya Ibu.

“Kedua, apakah sikap kawan-kawanmu berubah setelah mereka tahu kamu suka makan kaki ayam?” tanya Ibu lagi.

“Ketiga, apakah kalau misalnya si Rita suka makan daun pepaya yang pahit, semua anak di kelas harus mengikuti kegemarannya?” Ibu mengajukan pertanyaan yang terakhir.

“Kalau begitu, ambillah keputusan yang terbaik bagimu!” kata Ibu.

Mimi tersenyum. Hilanglah keraguannya. la mengucapkan terima kasih pada Ibu, lalu mengambil mangkuk kosong dan pergi ke dapur. Selanjutnya kamu tahu apa yang dikerjakan Mimi, bukan?

Baca Juga: Cara Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen | Bahasa Indonesia Kelas 11